Pengungsi yang berhasil mendarat di Eropa juga belum pasti dapat tiba di tempat yang diimpikan. Media Eropa sering memberitakan kematian pengungsi akibat sesak nafas di dalam gerbong truk atau mati terjepit ketika memanjat atap gerbong kereta.
Eropa telah kedatangan arus pengungsi dengan skala terbesar pasca Perang Dunia II, akan tetapi tanggapan awal Uni Eropa ternyata lambat dan lemah, para anggota saling melemparkan tanggung jawab dan mengecam pihak lain, sehingga Uni Eropa sulit mengeluarkan sebuah kebijakan tanggapan. Pada bulan Mei, Komite Uni Eropa pernah mengeluarkan "sistem kuota" dengan berharap sejumlah negara ikut menampung sejumlah pengungsi di Italia dan Yunani berdasarkan luas wilayah negara, populasi, kemampuan ekonomi dan unsur-unsur lainnya. Akan tetapi, usulan itu ditentang sesaat setelah dikeluarkan dan konsultasi terkait terus ditunda. Pihak pro yang diwakili oleh Jerman menyambut pengungsi Suriah sedangkan pihak kontra yang dikepalai oleh Inggris dan negara-negara Timur termasuk Hongaria, Romania dan Ceko dengan tegas menolak untuk menerima pengungsi yang dibagi oleh Uni Eropa. Negara-negara tersebut kemudian dikecam sebagai "egois dan melepaskan tanggung jawab".
Meskipun Jerman bersikap positif mengenai masalah pengungsi, pandangan setiap warga negara juga berlainan.
Baik antara anggota Uni Eropa maupun rakyat berbagai negara, terdapat pandangan yang saling berlawanan. Gelombang pengungsi telah berubah menjadi sebuah krisis yang berkemungkinan mengancam hasil pengintegrasian Eropa yang sudah dicapai.
Kepala Departemen Eropa Institut Hubungan Internasional Zaman Kontemporari Tiongkok, Cui Hongjian menyatakan, gelombang pengungsi mendatangkan pengaruh besar kepada masyarakat, ekonomi, politik, tradisi budaya serta tata sosial Eropa, itulah yang dikhawatirkan oleh para negara Eropa.