-- By Dharmawan
Merah mengawal hari di Gunung Maren. Matahari sebenarnya tidak terlihat karena tertutup kabut, dan putih yang pekat menyelimuti seluruh penjuru perbukitan, tetapi gelora merah sudah terasa sejak kami memasuki bangunan sederhana di kaki bukit. "Matahari di Hati Tidak Akan Tenggelam untuk Selamanya," demikian kata barisan huruf emas bertahta di atas latar belakang dinding merah. Ribuan wajah Chairman Mao berjajar rapi di balik kaca, dalam berbagai pose dan ukuran, mulai dari lempeng lencana mungil untuk disematkan di baju sampai piringan logam besar seukuran wajan.
Dulu di sini, Chairman Mao pernah menempatkan bataliun tentara. Tempat ini juga adalah basis perjuangan melawan penjajah Jepang. Destinasi wisata ini bukan sekedar untuk melihat gunung dan air, tetapi juga untuk menggugah rasa cinta tanah air dan kesadaran akan sejarah. Merah, punya arti lain dari "merah" yang kita kenal di Indonesia. Merah di negeri ini adalah warna dari komunisme.
Poster-poster zaman revolusi yang terpampang dalam museum mungil itu menggambarkan ingar-bingar para buruh Tiongkok menyanyikan lagu mars revolusi, atau para serdadu dengan senapan yang teracung, atau para petani yang menari di persawahan. Para pengunjung, kebanyakan generasi muda Tiongkok yang dibesarkan pasca zaman revolusi, sibuk mempelajari setiap item pameran. Masa revolusi itu terasa begitu jauh dan nostalgik dari kehidupan Tiongkok modern di abad milenium.
"Wisata merah," pemandu berkata, "adalah bagian untuk membangkitkan patriotisme." Gunung Maren adalah satu destinasi "wisata merah" utama, napak tilas dari perjuangan panjang Partai Komunis.