Tetapi hanya berapa langkah dari sini, dominasi warna merah digantikan secara drastis oleh warna keemasan dari patung-patung raksasa yang berkilau di puncak bukit. Patung dewa Pan-ku, dewa terbesar dalam mitologi Tiongkok yang dipercaya menciptakan alam semesta, berdiri gagah menggenggam bola dunia. Di sampingnya, ada patung Laotzu dan Sakyamuni. Di sampingnya lagi, ada Dewa Zeus dari Yunani dan Maya dari Amerika Latin. Semuanya berkumpul di satu tempat, seolah menjadi saksi bahwa para dewa pun mengamini konsep Perserikatan Bangsa-Bangsa.
"Pada hakikatnya semua umat manusia berasal dari akar yang sama," kata pemandu yang menjawab kebingungan saya. Dia juga menjelaskan, tidak jauh dari tempat ini ditemukan fosil manusia pertama di dataran luas Eurasia. Karena itulah, pariwisata Gunung Maren mengusung nama Eurasia, nenek moyang semua umat manusia, dan hakikat kebersamaan akar kemanusiaan---"untuk menarik perhatian orang," sang pemandu menutup penjelasannya.
Semakin kami berjalan, Gunung Maren semakin menunjukkan warna yang berbeda. Atraksi yang ditampilkan sekarang adalah religia. Di tengah hutan bambu yang rimbun, pagoda mungil berdiri. Beberapa kuil kecil tersebar, lengkap dengan patung Buddha Maitreya dan para Arahat yang semua masih serba bersih, baru, dan mengkilat. Tidak terlihat umat yang bersembahyang di tengah gunung yang begitu sepi di hari yang dingin ini. Satu-satunya biksu yang saya jumpai mengatakan bahwa kuil-kuil di sini ada yang dibangun tahun 2002, ada pula yang tahun 2007. Kelompok patung dewa Pan-Ku dan Zeus itu bahkan diresmikan belum setahun lalu.
"Tetapi," pemandu mengingatkan, "dalam sejarahnya, adalah lazim ditemukan kuil-kuil Budha di gunung-gunung. Di gunung ini pun sejak zaman dulu sudah ada kuil, tetapi sempat rusak pada zaman Revolusi Kebudayaan. Kami hanya membangun kembali."