Turisme juga mulai merambah desa Chengkan. Waktu seperti terpenjara di desa ini. Alirannya terhenti, seperti halnya air dalam danau buatan yang mengelilinginya. Kami seperti dilempar kembali ke zaman para leluhur warga Anhui. Desa-desa mungil yang tidak terjamah modernisasi bertebaran di kaki gunung legendaris Huangshan, dan kini satu per satu membuka diri terhadap aliran para turis.
Rumah-rumah putih tersebar rapat di sisi jalan gang sempit yang meliuk-liuk seperti rumah sesat. Semerawut. Keruwetan justru menjadikannya begitu istimewa, karena di balik ketidakberaturannya itu ada filosofi besar yang diwakilinya. Dari udara, tata letak kampung Chengkan menyerupai anagram Pa-Kwa, menggambarkan keseimbangan unsur yin dan yang, konsep keseimbangan semesta yang menjiwai ajaran Taoisme.
Hujan turun rintik-rintik, menambah nuansa mistis dan romantis ketika saya menyusuri gang-gang sempit dusun mungil ini. Sesekali melintas warga setempat: kakek tua bercaping atau nenek tua yang berjalan terbungkuk-bungkuk dengan bayi tergendong di pundak.