Dan kini rombongan turis, termasuk saya, meluber untuk melihat dan merasakan secara langsung energi kehidupan mereka di balik atraksi kekunoan dan ketradisionalan mereka. Harus diingat, seperti saya pun harus mengingatkan diri sendiri, kami hanyalah pendatang yang "mengintip" kehidupan mereka. Sebagian warga dusun merasa terusik ketika para turis dengan liar menjepretkan kamera ke wajah mereka, melanggar ruang privasi mereka, dan menjadikan para penduduk sebagai "objek". Turis bukanlah manusia dengan hak istimewa, hanya sekedar dengan membayar karcis lalu merasa berhak menuntut para penduduk untuk menuruti apa saja keinginan mereka. Para penduduk itu tentu juga adalah manusia yang ingin diperlakukan sebagai manusia. Tak heran, berhadapan dengan rombongan turis yang "liar" dengan kamera mereka, sejumlah penduduk memasang tampang masam.
Sejauh mana kedatangan turis dalam jumlah besar alias mass tourism akan mengubah warna kehidupan di dusun kuno ini? Apakah ia menjadi sampel desa kuno dengan infrastruktur modern? Akankah kakek pencari tanaman obat di gunung akan menjadi pedagang suvenir? Akankah penduduk terbiasa memasang senyum di hadapan kilatan blitz kamera para turis? Entahlah. Mungkin hanya waktu yang bisa menjawab.