"Warga sini menyukai air," kata pemandu setempat, "Bagi mereka, hujan adalah emas dan salju adalah perak. Mereka tidak pernah memakai payung. Danau buatan yang ada di tepi dusun juga dibangun dengan sengaja, untuk menampung hujan yang bagi mereka adalah rejeki."
Tepat setelah ia mengatakan itu, seorang kakek melintas tergesa-gesa dengan bertudung payung.
Kami memasuki bangunan rumah kuno yang berada di bawah bayang gelap, sementara setitik sinar yang menyeruak dari lubang besar di atap. Rumah-rumah di sini umumnya tidak punya jendela, karena di zaman dahulu mereka menghadapi ancaman digarong para pencoleng dan perampok.
Bagi saya, Chengkan adalah lembaran sejarah yang masih hidup. Ini bukan sekedar bangunan kuno tempat para turis mengagumi keindahan arsitektur. Ini adalah desa yang hidup. Nenek yang tinggal di rumah kuno tadi adalah benar-benar nenek yang membesarkan cucunya. Kakek yang tertawa sambil memamerkan gigi ompong di bawah tudung topi caping adalah petani sungguhan yang mencari tanaman liar di hutan perbukitan. Petani mengeringkan jagung yang berjajar di dinding, karena mereka benar-benar ingin mengeringkan jagung, bukan untuk menjadi tontonan para turis.