"Di seluruh penjuru negeri, tiada yang melebihi Huangshan di Huizhou; Mendaki Huangshan, tiada lagi gunung di bawah kolong langit, cukuplah semua!"
Demikian musafir kenamaan Tiongkok, Xu Xiake dari akhir era Dinasti Ming menorehkan kesannya setelah mengunjungi gunung Huangshan, yang kini berada di selatan provinsi Anhui. Kata-kata yang mentahbiskan Huangshan sebagai gunung terindah di seluruh negeri Tiongkok, bahkan di seluruh muka bumi. Orang-orang dari zaman sesudahnya kemudian memparafrase ungkapan sang musafir kuno ini menjadi: "Siapa pun yang pernah mendaki Huangshan, tidak perlu lagi melihat gunung lain mana pun."
Huangshan tidak perlu banyak kata. Keindahan wajah pegunungan raksasa ini sudah cukup menjadi puisi bagi dirinya sendiri. Di tengah selimut kabut yang menyingsing, batu-batu menjulang dalam beragam bentuk yang begitu aneh. Magis. Romantis. Bebatuan raksasa seakan bernyanyi melalui melodi yang tergambar dari gurat wajah yang terkadang hilang ditelan kabut, terkadang misterius di balik balutan awan, terkadang menimbulkan kegalauan di balik kelabu, dan terkadang mendadak megah seraya menunjukkan kegarangan tebing curam ketika diraupi sinar matahari.
Tak heran, nuansa mistis ini menghasilkan ribuan karya seni yang tak terhingga dalam sejarah Tiongkok: lukisan mopit, bait-bait puisi, catatan perjalanan, denting kecapi, alunan sastra, .... Huangshan sudah menjadi bagian dari jiwa Tiongkok, kebanggaan Tiongkok, dan keyakinan bahwa tiada gunung lain di muka bumi ini yang sanggup mengalahkan keindahannya.