Wajah Xu Xiake berseri-seri setelah mendengar bahwa ternyata Huangshan bukan lagi soal mendaki ke puncak. Di sini ia bisa menyeruput teh, menikmati budaya kuliner Anhui, berendam di pemandian air panas, belanja suvenir, e-business (kalau dia tahu apa artinya), ikut biro tur untuk menjelajah dunia, dan menyelami lautan industri budaya. Dia pasti bangga, Huangshan bukan lagi sekedar milik Anhui, sekedar milik Tiongkok, tetapi sudah menjadi milik semua umat manusia di seluruh dunia. Huangshan adalah warisan budaya dan alam UNESCO, sehingga setiap jengkal pembangunan di sini harus mendapat restu dari badan dunia itu. Manusia dengan berbagai warna kulit mengerumuni pegunungan ini. Xu Xiake bahkan terpingkal-pingkal mendengar setiap tahun ada sekitar 30 ribu pengunjung dari negeri antah-berantah bernama Indonesia yang datang ke Huangshan, dan mereka punya sifat khas cepat merasa lelah walaupun hanya mendaki beberapa langkah saja.
Ia akhirnya menemukan sesudut tempat yang sunyi menghadap lautan gunung dan urapan awan. Ia merenungi pohon-pohon pinus yang merambah, seperti yang ia lihat ratusan tahun lalu. Tidak berubah! Hatinya mulai berpuisi melihat lautan awan di garis cakrawala. Ia mulai bermeditasi soal filsafat perjalanan dan arti kata eksplorasi. Tiba-tiba pundaknya ditepuk seorang kawan dari abad milenium, cucu moyangnya sendiri yang dengan bangga berkata, "Kami sudah melakukan pekerjaan pelestarian lingkungan ini dengan cukup baik, bukan?"